BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahwasannya hokum pidana Hukum merupakan
suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang memiliki peranan penting
dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itulah,
hukum mengenal adanya adagium ibi societes ibi ius. Adagium ini muncul karena
hukum ada karena adanya masyarakat dan hubungan antar individu dalam
bermasyarakat. Hubungan antar individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal
yang hakiki sesuai kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia
adalah makhluk polis, makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon).
Semua
hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum
(rechtsbetrekkingen). Maka untuk itulah dalam mengatur hubungan-hubungan hukum
pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi hukum yang mempunyai tujuan luhur
yaitu menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi
hukum tersebut. Sekalipun telah terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis
karena hukum harus terus menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang
berkaitan dengan hukum publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup
orang banyak dan berlaku secara umum.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Apakah maksud dari Pleger
b.
Bagaimanamaksud dari Doen Pleger
c.
Apakah maksud dari Medepleger
d.
Bagaimanakah maksud dari Uitlokker
e.
Apakah maksud dari Pembantu atau
Medeplichtige
1.3 Tujuan
Masalah
Untuk mengetahui apakah maksud dari bentuk-bentuk penyertaan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mereka
Yang Melakukan (PLEGER)
[1]Adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan
delik yaitu Orang yang bertanggung jawab (peradilan Indonesia). Orang yang
mempunyai kekuasaan/kemampuan untuk mengakhiri keadaan yang terlarang, tetapi
membiarkan keadaan yang dilarang berlangsung. (peradilan belanda). Orang yang berkewajiban mengakhiri keadaan
terlarang (pompe). Kedudukan pleger
dalam pasal 55 : Janggal karena pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya
(pelaku tunggal) Dapat dipahami : (pasal 55 menyebut siapa-siapa yang yang
disebut sebagai pembuat, jadi pleger masuk didalamnya) (Hazewinkel Suringa). Mereka yang bertanggungjawab adalah yang
berkedudukan sebagai pembuat (Pompe).
Mereka yang termasuk golongan ini
adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan
alat maupun tidak memakai alat. Dengan
kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsure yang ada dalam
suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal. Ada pembuat materil dan pembuat formil yang
secara berbeda.
2.2 Mereka
Yang Menyuruh Melakukan (DOEN PLEGEN)
Doen plegen merupakan salah satu
bentuk pesertaan di antara empat bentuk lainnya, yaitu melakukan (plegen),
membujuk melakukan (uitlokken), turut serta melakukan (medeplegen), dan
membantu melakukan (medeplichtig zijn). Sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 55 (1) angka 1 KUHP, yang menyuruh melakukan suatu delik
dipidana sebagai pembuat delik. Dalam doen plegen, pelaku langsung (materieele
dader) tidak dapat dipidana misalnya karena dalam pengaruh daya paksa (Pasal 48
KUHP), menurut perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 1 KUHP), menurut
perintah jabatan yang tidak sah namun materieele dader dengan jujur mengira
perintah tersebut sah (Pasal 51 ayat 2 KUHP), atau materieele dader mengalami
penyakit/cacat perkembangan jiwa (Pasal 44 ayat 1 KUHP).
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen paling
sedikit harus ada dua orang dimana salah seorang bertindak sebagai
perantara. Sebab doen plegen adalah
seseorang yang ingin melakukan tindak pidana tetapi dia tidak melakukannya
sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain dengan catatan yang
dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang
menyuruh melakukan. Dalam posisi yang
demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi
alat (instrument) belaka, dan perbuatan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang
yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana
langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab
adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan
secara hokum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Orang yang
disuruh mempunyai “dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana sebagaimana
diatur dalam pasal 44, pasal 48, pasal 49, pasal 50 dan pasal 51 KUHPidana.
Termasuk juga ke dalam doen plegen,
yaitu apabila pada materieele dader tidak ada salah satu unsur delik, melainkan
unsur tersebut ada pada yang menyuruh. Unsur tersebut bisa mengenai a)
keadaan-keadaan mengenai pribadi seseorang (persoonlijke omstandigheden)
ataupun b) opzet (padahal unsur tersebut telah disyaratkan di dalam rumusan
undang-undang mengenai delik tsb.) Sebagai
contoh keadaan a) adalah: Seorang pegawai negeri A menyuruh seseorang yang
bukan pegawai negeri C meminta pembayaran kepada pegawai negeri lain B,
seolah-olah B berhutang pada A, padahal tidak demikian halnya. Terhadap
peristiwa ini, A terancam Pasal 425 angka 1 jo. Pasal 55 (1) angka 1 KUHP
sebagai penyuruh.
Contoh keadaan b), misalnya: A menyuruh B untuk mengambil barang
milik C. B mengira dengan jujur bahwa keinginan A untuk menguasai barang
tersebut tidak melawan hukum. Dalam hal ini, B tidak memiliki opzet untuk
menguasai barang itu secara melawan hukum, sedangkan A terancam Pasal 362 jo.
Pasal 55 (1) angka 1 KUHP. Menyuruh melakukan (doen plegen). Adalah seseorang yang memiliki kehendak
sendiri untuk melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melaksanakannya sendiri
tetapi menyuruh orang lain untuk melakukannya (bisa karena ancaman maupun
penyesatan). Seseorang yang menyuruh tersebut diancam pidana sebagaimana
seorang pelaku.
Van hammel berpendapat, perbuatan yang menyuruh melakukan itu
adalah perbuatan pembuat. Menurut Momorie van Toelichting, unsur menyuruh
melakukan adalah seseorang, yaitu manusia, yang dipakai sebagai alat. Dua sebab
orang yang disuruh melakukan tidak dapat dihukum adalah: Orang itu sama sekali tidak melakukan satu
peristiwa pidana, atau perbuatan yang dilakukannya tidak dapat dikualifikasi
sebagai peristiwa pidana. Orang itu
memang melakukan suatu peristiwa pidana tetapi ia tidak dapat dihukum karena
alasan menghilangkan kesalahan, yaitu: Perbuatan
yang dilakukan oleh yang disuruh melakukan tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena “kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal” (Ps.
44 KUHP) Yang disuruh melakukan perbuatan yang bersangkutan karena diancam /
overmacht (Ps.48 KUHP).
Yang disuruh melakukan menjalankan “perintah jabatan yang diberikan
oleh kuasa yang tidak berhak” sedangkan “ia atas kepercayaannya memandang bahwa
perintah itu seakan-akan diberikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan
menjalankan perintah itu menjadi kewajibannya” (Ps.51 ayat (2) KUHP) Yang
disuruh melakukan tidak bersalah sama sekali “tiada hukan dengan tiada
kesalahan” Yang disuruh melakukan belum
dewasa (Ps.44 KUHP).
Ad.2. mereka yang menyuruh melakukan (pembuat penyuruh: doenpleger)
Unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu:
1. melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya (yang ada dalam kekuasaannya)
2. orang lain itu berbuat:
a. tanpa kesengajaan (contoh mengedarkan uang palsu)
b. tanpa kealpaan (contoh menyiramkan air panas kepada pemulung)
c. tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:
1) yang tidak diketahuinya
2) karena disesatkan (kekeliruan/kesalahpahaman) (contoh mencuri koper yang bukan miliknya)
3) karena tunduk pada kekerasan (tuan rumah dilempar dan menimpa anak kecil hingga tewas)
Unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu:
1. melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya (yang ada dalam kekuasaannya)
2. orang lain itu berbuat:
a. tanpa kesengajaan (contoh mengedarkan uang palsu)
b. tanpa kealpaan (contoh menyiramkan air panas kepada pemulung)
c. tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:
1) yang tidak diketahuinya
2) karena disesatkan (kekeliruan/kesalahpahaman) (contoh mencuri koper yang bukan miliknya)
3) karena tunduk pada kekerasan (tuan rumah dilempar dan menimpa anak kecil hingga tewas)
orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebab-sebabnya:
1. orang yang disuruh melakukan tindak pidana, tetapi apa perbuatan yang dilakukannya tidak dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Contoh:
a. seorang jururawat yang atas perintah dokter untuk memberikan obat minum yang mengandung racun kepada pasien yang menjadi musuh dokter, si perawat sama sekali tidak tahu bahwa obat minum tsb mengandung racun. (unsur sengaja tidak ada)
b. A. menyruh B menukarkan uang palsu, sedangkan B tidak tahu bahwa uang tersebuyt palsu. (unsur dengan maksud Pasal 245 tidak dipenuhi).
1. orang yang disuruh melakukan tindak pidana, tetapi apa perbuatan yang dilakukannya tidak dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Contoh:
a. seorang jururawat yang atas perintah dokter untuk memberikan obat minum yang mengandung racun kepada pasien yang menjadi musuh dokter, si perawat sama sekali tidak tahu bahwa obat minum tsb mengandung racun. (unsur sengaja tidak ada)
b. A. menyruh B menukarkan uang palsu, sedangkan B tidak tahu bahwa uang tersebuyt palsu. (unsur dengan maksud Pasal 245 tidak dipenuhi).
2.
orang itu memang melakukan satu tindak pidana tetapi ia tidak dapat dipidana
karena ada satu atau beberapa alasan yang menghilangkan kesalahan.
Contoh:
a. tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP. Ex: A berniat membunuh B tetapi tidak berani melakukan sendiri, telah menyruh C (orang gila) untuk melemparkan granat tangan keada B, bila C betul2 telah melemparkan granat itu, sehingga B mati, maka C tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan yang dihukum sebagai pembunuh adalah A.
b. telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (overmacht) menurut Pasal 48 KUHP. Ex: A berniat membakar rumah B dan dengan menodong memakai pistol menyuruh C supaya membakar rumah itu. Jika C menurut membakar rumah itu ia tidak dapat dihukum karena dipaksa.
c. Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak sah menurut pasal 51 KUHP. Ex. Seorang perwira polisi mau membalas dendam pada seorang musuhnya dengan memasukkan orang itu ke dalam tahanan. Ia menyuruh B seorang bintara di bawah perintahnya supaya menangkap dan memasukkan tahanan orang tsb, dengan dikatakan bahwa orang tsb seoprang tersangka pencurian. Jika B melaksanakan suruhan tsb B tidak dapat dipidana karena ia menyangka bahwa perintah itu sah.
d. Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali. Ex: A berniat akan mencuri sepeda motor yang sedang diparkir di depan kantor pos. ia tidak berani melakukan sendiri akan tetapi ia menunggu di tempat agak jauh minta tolong kepada B untuk mengambil sepeda motor tsb dengan dikatakan bahwa itu adalah miliknya. Jika B memenuhi permintaan itu ia tidak dapat disalahkan melakukan pencurian, karena unsur sengaka tidak ada.
Contoh:
a. tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP. Ex: A berniat membunuh B tetapi tidak berani melakukan sendiri, telah menyruh C (orang gila) untuk melemparkan granat tangan keada B, bila C betul2 telah melemparkan granat itu, sehingga B mati, maka C tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan yang dihukum sebagai pembunuh adalah A.
b. telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (overmacht) menurut Pasal 48 KUHP. Ex: A berniat membakar rumah B dan dengan menodong memakai pistol menyuruh C supaya membakar rumah itu. Jika C menurut membakar rumah itu ia tidak dapat dihukum karena dipaksa.
c. Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak sah menurut pasal 51 KUHP. Ex. Seorang perwira polisi mau membalas dendam pada seorang musuhnya dengan memasukkan orang itu ke dalam tahanan. Ia menyuruh B seorang bintara di bawah perintahnya supaya menangkap dan memasukkan tahanan orang tsb, dengan dikatakan bahwa orang tsb seoprang tersangka pencurian. Jika B melaksanakan suruhan tsb B tidak dapat dipidana karena ia menyangka bahwa perintah itu sah.
d. Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali. Ex: A berniat akan mencuri sepeda motor yang sedang diparkir di depan kantor pos. ia tidak berani melakukan sendiri akan tetapi ia menunggu di tempat agak jauh minta tolong kepada B untuk mengambil sepeda motor tsb dengan dikatakan bahwa itu adalah miliknya. Jika B memenuhi permintaan itu ia tidak dapat disalahkan melakukan pencurian, karena unsur sengaka tidak ada.
2.3 Mereka yang Turut Serta Melakukan ( Medepleger
)
[2]Menurut Mvt Wvs
Belanda di terangkan bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang
sengaja turut berbuat dalam melakukan suatu tindak pidana.
Ada 2 pandangan mengenai turut serta melakukan yaitu Pandangan yang
sempit yang dianut leh Van Hamel dan Trapman yang berpendapat bahwa turt serta
melakukan terjadi apabila pebuatan masing – masing peserta memuat semua unsur
tindak pidana.Pandangan ini lebih condong pada ajaran objektif. Sedangkan pandangan yang kedua adalah
pandangan luas mengenai pembuat peserta, tidak mensyaratkan bahwa perbuatan
pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang pembuat, peruatannya tidak
perlu memenuhi semua rumusan tindak pidana, sudahlah cukup memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana,
asalkan kesengajaannya sama dengan kesengajaan dari pembuat pelaksanaannya.
Pandangan ini lebih mengarah pada ajaran subjektif.Pandangan luas ini adalah
pandangan yang lebih modern daripada pandangan lama yang lebih sempit.
Hoge Raad dalam arrestnya ini telah meletakkan dua kriteria tentang
adanya bentuk pembuat peserta, yaitu :
a. Antara para peserta ada kerja sama yang di insyafi;
b. Para peserta telah sama – sama melaksanakan tindak
pidana yang dimaksudkan.
Jadi, perbedaan antara pembuat peserta dengan pembuat pelaksaana
hanyalah dari sudut perbuatan (objektif), ialah perbuatan pembuat pelaksana itu
adalah perbuatan penyelesaian tindak pidana. Artinya terwujud dan selesainya
tindak pidana adalah oleh perbuatan pembuat pelaksana, dan bukan oleh perbuatan
pembuat peserta. Dengan kata lain, perbuatan pembuat pelaksana adalah perbuatan
pelaksanaan tindak pidana, sedangkan perbuatan pembuat peserta adalah sebagian
dari perbuatan pelaksanaan tindak pidana. Terdapat perbedaan juga antara
pembuat pelaksana dengan pembuat peserta, adalah dalam hal tindak pidana yang
mensyaratkan subyek hukum atau pembuatnya harus berkualitas tertentu.
Medepleger
(Turut Serta)
Orang yang dengan sengaja turut
berbuat atau turut mengerjakan sesuatu yang dilarang menurut undang-undang
Turut mengerjakan
sesuatu:
- mereka
memenuhi semua rumusan delik
- Salah
satu memenuhi semua rumusan delik
- Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik
Syarat
- Adanya
kerjasama secara sadar (bewuste samenwerking)
- Adanya
kerjasama secara fisik (gezamenlijke uitvoering/physieke samenwerking)
Kerjasama
secara sadar :
- Adanya pengertian antara
peserta atas suatu perbuatan yang dilakukan
- Untuk bekerjasama
- Ditujukan
kepada hal yang dilarang oleh undang-undang
Kerjasama/pelaksanaan bersama secara fisik:
Kerjasama yang erat dan langsung atas suatu perbuatan yang langsung
menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan.
2.4 Orang yang Sengaja Menganjurkan ( Uitlokker )
[3]Mereka yang dengan memberi atau
menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan”. Terdapat beberapa unsur – unsur dari Uitlokker yaitu :
Unsur – unsur obyektif terdiri dari :
a. Unsur perbuatan, ialah : menganjurkan orang lain melakukan
perbuatan;
b. Caranya, ialah :
Dengan memberikan sesuatu
Dengan menjanjikan sesuatu
Dengan menyalahgunakan kekuasaan
Dengan menyalahgunakan martabat
Dengan kekerasan
Dengan ancaman
Dengan penyesatan
Dengan memberi kesempatan
Dengan memberikan sarana
· Dengan memberikan kekurangan.
Terdapat 5 syarat dari seorang pembuat penganjur :
a. Pertama, tentang kesengajaan si pembuat penganjur :
Ditujukan pada digunakannya upaya – upaya penganjuran;
Ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan
beserta akibatnya;
Ditujukan pada orang lain untuk melakuakn perbuatan (
apa yang dianjurkan )
Ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab
atau dapat dipidana.
b. Kedua, dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus
menggunakan cara – cara menganjurkan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 55
ayat 1 angka 2 tersebut.
c. Ketiga, terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan
untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah
disebabkan langsung oleh digunakannya upaya – upaya penganjuran oleh si pembuat
penganjur.
d. Keempat, orang yang dianjurkan telah melaksanakan
tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan.
e. Kelima, orang yang dianjurkan adalah orang yang
memiliki kemampuan bertanggung jawab.
Terdapat syarat untuk adanya upaya menyalahgunakan kekuasaan yang
dimaksud dalam hal penganjuran adalah :
a) Pertama, bahwa upaya ini digunakan dalam hal yang
hubungan atau dalam ruang lingkup tugas pekerjaan dari pemegang kekuasaan dan
orang yang ada dibawah pengaruh kekuasaan.
b) Kedua, bahwa hubungan kekuasaan itu harus ada pada
saat dilakukannya upaya penganjuran dan pada saat pelaksanaan tindak pidana
sesuai dengan apa yang dianjurkan.
Berikut adalah persamaan dan perbedaan antara bentuk pembuat penyuruh
dengan pembuat penganjjur :
Persamaannya ialah :
a. Pada kedua bentuk, baik pembuat penyuruh maupun
pembuat penganjur tidak melakukan sendiri tindak pidana melainkan menggunakan
atau melalui orang lain.
b. Kesengajaan mereka dalam melakukan penganjuran maupun
dalam menyuruh lakukan masisng – masing ditujukan pada penyelesaian tindak
pidana dengan menggunakan orang lain.
Sedangkan perbedaannya ialah :
a. Bahwa dalam melakukan penganjuran harus menggunakan
cara – cara yang telah ditentukan dalam pasal 55 ayat 1 ke 2 KUHP. Pada bentuk
menyuruh lakukan boleh menggunakan segala cara.
b. Pada bentuk penganjuran, baik pembuat pengnjurnya
maupun perbuat materiilnya dipertanggungjawabkan yang sama terhadap timbulnya
tindak pidana, artinya sama – sama dipidana. Tetapi pada bentuk menyuruh
lakukan yang dibebani tanggung jawab pidana dan dipidana hanyalah pembuat
penyuruhnya saja.Sedangkan pembuat materiilnya tidak dapat di jatuhi pidana.
2.5 Pembantu
atau Medeplichtige
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis,
yaitu :
A.
Pembantuan pada saat
kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP.
Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen),
namun perbedaannya terletak pada :[4]
1. Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang
pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
2. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan
harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan
dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana,
dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
3. Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan
turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
4. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan
dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut
serta dipidana sama.
B.
Pembantuan sebelum
kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau
keterangan. Kesempatanadalah memberikan peluang untuk seseseorang melakukan
kejahatan. Saranaadalah memberikan alat yang digunakan untuk mempermudah
kejahatan itu. Keteranganadalah menyampaikan ucapan-ucapan berupa [5]nasihat
kepada orang lain untuk melakukan kejahatan. Contoh kesempatan, B berniat
membunuh A. A dan B naik taksi bersama yang dikendarai oleh C. Pada saat di
jalan B melaksanakan aksinya. C memberhentikan taksinya pada saat B membunuh A.
Hal ini berarti C telah memberikan kesempatan kepada si B untuk melakukan
tindak kejahatan. Contoh sarana,A berniat membunuh B. Terjadi kontak fisik,
mereka bertengkar dan berkelahi. Pada saat itu, C datang memberikan pistol
kepada A. A menggunakan pistol itu untuk menembak mati B. Dalam hal ini, C
telah memberikan alat yakni berupa pistol kepada A untuk mempermudah dan
memperlancar aksi A. Contoh keterangan, A berniat membunuh B. A tanya kepada C
tempat tinggal B. C memberitahu A dimana B tinggal. Di sini C telah memberikan
keterangan kepada si A dengan memberikan alamat tempat tinggal B. Bentuk-bentuk
pembantuan pada saat sebelum kejahatan dilakukan, yaitu :
Ø Pembantuan aktif, dengan melakukan perbuatan aktif atau fisik. Contoh :
pada kasus pemerkosaan, pembantu membantu memegang kedua kaki korban.
Ø Pembantuan pasif/non fisik, pembantuan dengan tidak melakukan perbuatan
aktif. Contoh, kasus pembobolan atm, satpam setempat mengetahui hal tersebut
dan diam saja.
Pembantuan dalam
rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya
pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah
ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam
penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan
oleh si penganjur.
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya
dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada
pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang
dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati
atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun
ada beberapa catatan pengecualian :
1. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak
pidana :
1)
Membantu merampas
kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara memberi tempat untuk perampasan
kemerdekaan,
2)
Membantu menggelapkan
uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),
3)
Meniadakan surat-surat
penting (Pasal 417 KUHP).
2. Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat,
yaitu dalam hal melakukan tindak
pidana :
pidana :
1)
Membantu menyembunyikan
barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP).
2)
Dokter yang membantu
menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP).
Pidanan tambahan bagi
pembantu adalah sama dengan kejahatannya sendiri (pasal 57 ayat3). Pertanggung
jawaban pembantu adalah berdiri sendiri, tidak digantungkan pada pertanggung
jawaban pembuat.
R. Soesilo dalam bukunya yang
berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan
“orang yang turut melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut
R. Soesilo, “turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”.
Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger)
dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini
diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi
melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh
misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya
hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger”
akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam
Pasal 56 KUHP.
Sedangkan mengenai Pasal 56 KUHP, R.
Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan
bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu
dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka
orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” melanggar Pasal 480
KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.
Dalam penjelasan Pasal 56 KUHP ini
dikatakan bahwa elemen “sengaja” harus ada, sehingga orang yang secara
kebetulan dengan tidak mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau
keterangan untuk melakukan kejahatan itu tidak dihukum. “Niat” untuk melakukan
kejahatan itu harus timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya
upaya atau keterangan itu. Jika niatnya itu timbul dari orang yang memberi
bantuan sendiri, maka orang itu bersalah berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,
S.H., dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
(hal. 123), mengutip pendapat Hazewinkel-Suringa, Hoge RaadBelanda yang
mengemukakan dua syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu: Kesatu,
kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu
kehendak bersama di antara mereka; Kedua, mereka harus bersama-sama
melaksanakan kehendak itu.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro, S.H.(Ibid, hal. 126-127), sebagaimana kami sarikan,
menjelaskan mengenai perbedaan antara “turut melakukan” dan “membantu
melakukan”. Menurutnya, berdasarkan teori subjektivitas, ada 2 (dua) ukuran
yang dipergunakan: Ukuran kesatu adalah mengenai wujud kesengajaan yang
ada pada di pelaku, sedangkan ukuran kedua adalah mengenai kepentingan
dan tujuan dari pelaku.
Ukuran kesengajaan dapat berupa; (1)
soal kehendak si pelaku untuk benar-benar turut melakukan tindak pidana, atau
hanya untuk memberikan bantuan, atau (2) soal kehendak si pelaku untuk
benar-benar mencapai akibat yang merupakan unsur dari tindak pidana, atau hanya
turut berbuat atau membantu apabila pelaku utama menghendakinya.
Sedangkan, ukuran mengenai
kepentingan atau tujuan yang sama yaitu apabila si pelaku ada kepentingan
sendiri atau tujuan sendiri, atau hanya membantu untuk memenuhi kepentingan
atau untuk mencapai tujuan dari pelaku utama.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Bahwasanya bentuk-bentuk penyertaan terdiri dari pleger, doen
pleger, medepleger, uitlokker bahwa semuannya berbeda dalam setiap tindak
pidanannya, tidak ada yang sama. Dan
juga sudah jelas dijelaskan dalam pasal 55 dan 56, pasal 55 mengenai golongan
yang disebut dengan medader(disebut para peserta, atau para pembuat), dan pasal
56 mengenai medeplichtige (pembuat pembantu).
Maka untuk itulah dalam mengatur
hubungan-hubungan hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi hukum yang
mempunyai tujuan luhur yaitu menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan
nilai keadilan dari subtansi hukum tersebut.
Perluasan
kedua perihal dapatnya dipidana terjadi oleh bentuk penyertaan. Untuk hal ini juga berlaku kendati tidak
terpenuhinnya semua unsure perumusan delik, kadang-kadang dapat juga dijatuhkan
pidana. Sifat ini yang pada hakikatnya
melanggar pasal 1 ayat 1 KUHP terdapat, baik pada percobaan maupun pada
penyertaan. Oleh sebab itu, baik
percobaan maupun penyertaan perbuatan pidana tersebut. Namun, perbedaan diantara keduanya terletak
dalam hal-hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
DRS. Chazawi
Adami, S.H. 2005. Pelajaran Hokum
Pidana, PT Raja Grafindo, Jakarta
DRS. Chazawi
Adami, S.H. 2002. Pelajaran Hokum Pidana,
PT Raja Grafindo, Jakarta
Prof.
Dr.D.Schaffmeister. 2007 Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
R. Soesilo.
1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.
Prodjodikoro,
Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Refika Aditama.
[3] Prof. Dr.D.Schaffmeister. Hukum Pidana, Bandung, PT Citra
Aditya Bakti, 2007, hal 245
[4]Moeljatno, Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan,
(Jakarta: Bina Aksara, 1985), h. 128 .
[5] R. Soesilo.
1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.
http://indonesiatanahpusaka.blogspot.co.id/2012/07/pembantu-atau-medeplichtige.html
BalasHapusDid you hear there's a 12 word phrase you can communicate to your partner... that will trigger intense feelings of love and impulsive appeal for you deep within his heart?
BalasHapusBecause deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's instinct to love, worship and guard you with all his heart...
12 Words Who Trigger A Man's Desire Instinct
This instinct is so built-in to a man's genetics that it will drive him to work harder than before to make your relationship the best part of both of your lives.
Matter-of-fact, triggering this powerful instinct is so important to having the best ever relationship with your man that the instance you send your man a "Secret Signal"...
...You'll immediately notice him open his heart and soul for you in a way he's never experienced before and he'll recognize you as the only woman in the world who has ever truly tempted him.